10 Januari 2010

Resensi buku “Lekra Tak Membakar Buku” Bab II: Riwayat Harian Rakyat


Oleh Candra Irawan Hartadi dan Ellam Wardana
Diskusi bedah buku diadakan oleh Bingkai Merah pada 9 Januari 2010.

Pada jaman Revolusi Indonesia, perjuangan politik tidak hanya ditunjukkan oleh partai politik saja yang mendukung Manifesto Politik (Manipol) Presiden Soekarno. Peran media cetak pun punya tugas penting dan berat dalam memerjuangkan kepentingan massa rakyat saat itu. Hal itu ditunjukkan oleh kehadiran surat kabar Harian Rakyat sebagai terompet nasional, corong perjuangan rakyat dan senjata melawan bentuk penindasan kaum imperialis dan kolonial di segala aspek kehidupan masyarakat.

Kehadiran Harian Rakyat sebagai kekuatan media progresif rakyat begitu penting untuk menjaga perjuangan revolusi 1945. Juga melalui kerja-kerja budaya. Dalam rangka itu, Harian Rakyat memberikan ruang yang begitu besar bagi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) berapresiasi.
Keterkaitan Lekra dan Harian Rakyat akan dibahas pada Bagian Kedua buku ini yang terbagi ke dalam beberapa sub bab, yaitu 14 tahun Mengawal Kebudayaan Rakyat, Ideologi dan Jurnalisme Harian Rakyat, Lekra dan Harian Rakyat, serta Berkali-kali Dibredel Akhirnya Mati Juga.

A. 14 tahun Mengawal Kebudayaan Rakyat

Harian Rakyat sebelumnya bernama Suara Rakyat. Tepatnya akhir Januari berubah nama menjadi HARIAN RAKYAT. Harian Rakyat bukan hanya media propagandis dan agitator, melainkan juga hadir sebagai Organisator Kolektif Tri Tugas Revolusioner.

Harian Rakyat memiliki jargon “Untuk Rakyat Hanya Ada Satu Harian “ HARIAN RAKYAT”. Berkantor di Pintu Besar Selatan No 93 dengan Dewan Redaksi Nyoto dan Direksi/Penanggung Jawab/Redaksi Mula Naibaho Harian Rakyat menjadi terompet Partai Komunis Indonesia.

Harian Rakyat yang beroperasi selama 14 tahun itu merupakan koran propaganda Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai bagian dari perjuangan politik kelas proletar, Harian Rakyat harus menjadi bagian dari perjuangan kelas proletar yang dilandaskan oleh ideologi yang jelas (Materialisme-Dialektika-Histori) dalam menentukan arah dan garis perjuangannya.

Pada 2 November 1959, Harian Rakyat dibredel oleh penguasa perang. Para pimpinan Harian Rakyat tidak berdiam diri. Aksi turun ke jalan sembari menjual koran dilakukan langsung oleh pimpinan Harian Rakyat, seperti D.N. Aidit (Sekjen PKI), S. Utarjo (Sekretaris Comite PKI Jakarta Raya), Lukman (Wakil Ketua I PKI), Nyoto (Wakil Ketua I PKI dan pimpinan redaksi Harian Rakyat), dan Nyono calon anggota Polit Biro PKI dan Sekjen SOBSI. Mereka melakukan aksi itu sebagai bentuk penolakan atas pembredelan Harian Rakyat.

Aksi jual koran oleh pimpinan PKI mendapat dukungan dan antusias massa rakyat dari berbagai lapisan kelas. Dukungan itu dalam bentuk membeli Harian Rakyat. Selain itu, Harian Rakyat juga mendapat dukungan dari koran Abadi, Duta Masjarakat, Pemuda, dan Bintang Timur. Pada aksi itu, para wartawan tulis dan foto Harian Rakyat turut mendokumentasikannya dan membuat berita khusus di halaman muka Harian Rakyat Edisi 9 November 1959.

B. Ideologi dan Jurnalisme Harian Rakyat
Gaya bahasa Harian Rakyat yang khas berbobot itu ditempa oleh Nyoto, Naibaho, dan Supeno. Gaya Marxisme-Leninisme menyusup ke dalam tulang-tulang bahasa. Sehingga, Harian Rakyat cenderung mengedepankan ideologi dan jurnalisme konfrontasi. Ciri khas dari Harian Rakyat adalah berbahasa meledak, tembak langsung, jambak, sikat dan pukul di tempat.

Garis politik Harian Rakyat yang konfrontatif dan memosisikan sebagai barisan pembela Manifesto Soekarno, Anti Imprealis, dan Anti Feodal menghadirkan polemik dengan Harian Merdeka asuhan BM. Diah. Harian Merdeka mendukung BPS (Badan Pendukung Soekarno). Harian Rakyat yang berkoalisi dengan Bintang Timur asuhan Amuanto menuntut pembubaran BPS karena dianggap sebagai antek-antek dan mata-mata Badan Intelejen Amerika (CIA). Inilah polemik terbesar dalam sejarah pers Indonesia, tepatnya pada tanggal 2 Juni sampai 9 Juli 1964.

Setiap koran yang terbit memiliki ciri atau karateristik yang dituangkan melalui kolom atau rubrik. Dalam Harian Rakyat terdiri dari Rubrik Tetap dan Rubrik Khusus. Dalam Rubrik Tetap biasanya memuat rubrik Marxisme-Leninisme, Tinjauan Luar Negeri, Ekonomi Keuangan, dan Kebudayaan dan Pendidikan. Sementara dalam Rubrik Khusus dimuat Harian Rakyat Muda, Wanita, Surat Pembaca, Arti Kata-kata Asing, Wong Tjilik (Pojok), dan Editorial.

Selain rubrik, ciri khas lain dari Harian Rakyat adalah gambar-gambar karikatur yang dimuat dalam ruang kebudayaan. Karikatur dibuat sebagai salah satu wujud konfrontasi Harian Rakyat dengan musuh-musuh kontra revolusioner yang memuat isi yang cerdas, inspiratif, unik, jenaka, dan menusuk langsung sasaran dengan senjata bahasa politik untuk melawan imperialisme dan kolonialisme. Rubrik Harian Rakyat Muda menjadi ruang kreativitas progresif kaum muda yang diasuh olek kak Embun. Sementara untuk edisi mingguan Harian Rakyat menerbitkan Harian Rakyat Sport dan Film asuhan Soejono dan Joebar untuk mengawal kebudayaan nasional melalui kemajuan olahraga dan film.

Konsep TURBA menjadi metode Harian Rakyat dalam peliputan berita “Dari Massa Kembali ke Massa”, “Kritik dan Otokritik” dan berusaha mempertinggi “Mutu Ideologi dan Mutu Djurnalistik”. Dalam Harian Rakyat tercermin pendirian kaum komunis dan segenap kekuatan anti-imperialisme dan anti feodal. Harian Rakyat adalah koran Intensif bukan Ekstensif.

Harian Rakyat memiliki beberapa kendala di dalam memerjuangan pergerakan rakyat melalui terbitan-terbiatan. Harian Rakyat tidak memiliki lisensi percetakan sendiri. Selain itu, Harian Rakyat sering memiliki masalah keuangan karena pengangkutan dengan GIA (Garda Industri Airways) dan DKA (Djawatan Kereta Api), tarifnya sangat tinggi. Hal itu tidak menyurutkan Harian Rakyat untuk terus terbit. Dengan usaha yang keras, Harian Rakyat mampu menembus oplah 60.000 ekslemplar yang tercatat dalam buku “Pogram dan Pembangunan” susunan Kementrian Penerangan pada 1958. Sehingga, menjadikan Harian Rakyat sebagai koran politik terbesar pada masanya.

Perjalanan panjang Harian Rakyat dalam mengawal perjuangan rakyat tidak hanya mendapat dukungan dari rakyat, juga dari para pemangku pemerintahan. Seperti Letjen Achmad Yani di dalam pidatonya saat Harian Rakyat berulang tahun ke XII, “Harian Rakyat menggugah semangat rakyat untuk tetap cinta dan setia kepada cita-cita dan tujuan pokok Revolusi Indonesia. Setiap Revolusi ada tantangangnya. Mereka yang menantang Revolisi Indonesia digolongkan dalam barisan Kontra-Revolusi yang harus dibersihkan. Selama ini, Harian Rakyat di dalam usaha membasmi golongan kontra-revolusi cukup aktif.”

Berikut ini pendapat dari beberapa tokoh dan organisasi lainnya,
“Sebagai satu surat kabar, Harian Rakyat senantiasa menganjurkan persatuan segenap rakyat Indonesia dalam perjuangan menentang imperialisme” (Soekarno).

“Sebagai alat Revolusi, Harian Rakyat telah memberikan andil demi terciptanya Tiga Kerangka Tujuan Revolusi dan Harian Rakyat telah berjuang secara revolusioner” (E. Martadinata, Mentri Pangal Laksamana Madya).

“Harian Rakyat sebagai unsur penggerak rakyat yang progresif dan patriotik telah menunjukkan bukti-bukti yang nyata dalam memersatukan kekuatan buruh, tani, serta golongan massa bagi usaha penggayangan Malaysia, negara boneka ciptaan Inggris. Akhirnya marilah kita bersatu padu, bahu-mambahu dan tak kenal menyerah dalam menyelesaikan Revolusi Nasional kita. Onward!!! No Regret!!!” (Oemar Dani, Laksamana Madya Udara, Menteri/Panglima Angkatan Udara RI).

“Di mata keluarga Komunis, Harian Rakyat adalah harian revolusioner seperti juga dikatakan oleh Lenin merupakan propaganda kolektif, agitator kolektif dan organisasi kolektif. Harian Rakyat menunjukkan bahwa Harian Rakyat adalah harian daripada rakyat, kepunyaan rakyat dan pembawa suara rakyat” (Lukman, Wakil Ketua I PKI).

“Harian Rakyat kuat karena didukung oleh gerakan revolusioner rakyat. Sedang hari depan Harian Rakyat adalah gemilang, sama gemilangnya dengan hari depan Indonesia, dimana tidak ada lagi kaum imperialisme, kaum komprdor, dan kaum tuan tanah yang menjadi tempat bergantung koran-koran kanan. Harian Rakyat, Rakyat Indonesia dan PKI berjuang untuk hari depan yang gemilang ini” (D.N Aidit, Ketua CC PKI).

“Harian Rakyat telah berhasil mengambil hati kaum buruh dengan menjalankan peran untuk mengangkat derajat Kaum Buruh Indonesia dan menara penyuluh bagi perjuangan Kaum Buruh Indonesia yang tidak hanya tahu aksi, melainkan juga tahu Revolusi” (Dewan Nasional Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia).

“Kaum Tani mengenal Harian Rakyat sebagai pembela kaum tani mengahadapi kaum tuan tanah dan bersama kaum tani menyerukan solidaritet dan memberikan jalan melawan hama, bahaya alam, serta cara mengatasi bahaya kelaparan” (DPP BTI).

Harian Rakyat laksana air dan ikan bagi Gerwani. Dalam memperjuangkan Hak-hak Wanita di lapangan ekonomi, sosial, dan politik dimana kaum wanita merupakan separo dari pemilih dengan kemenangan demokrasi merupakan sumbangan yang besar bagi Gerakan Wanita” (DPP GERWANI).

Di mata organisasi pers nasional maupun internasional, Harian Rakyat adalah koran kaum komunis yang sangat dihormati. Dianggap sebagai mata rantai dalam membangun Front Persatuan Nasional untuk melaksanakan cita-cita material dan spiritual yang dikandung dalam Amanat Penderitaan Rakyat dengan semangat internasional proletar sejati dan persaudaraan komunis.

C. Lekra dan Harian Rakyat
Sebagaimana kita ketahui pada bagian pertama, Harian Rakyat memang secara resmi bukan media Lekra (lih. hal. 47). Namun, koran itu memiliki hubungan yang khusus dengan Lekra. Hal itu dinyatakan langsung dalam salah satu edisi Harian Rakyat pada 31 Januari 1964:
“HR berdiri di depan dalam mengganjang musuh2 nasional dilapangan kebudajaan ... Dengan demikian ia menerangi djalan2 perdjuangan pekerdja2 kebudajaan Rakjat LEKRA [sic] (hal. 95, catatan perut).

Kesulitan memisahkan antara Harian Rakyat, Lekra, dan PKI tatkala melihat sosok Njoto, sang pemimpin redaksi Harian Rakyat, juga salah seorang pendiri Lekra, sekaligus satu dari lima Pandawa dalam tubuh PKI. Sebab, alasan persamaan garis perjuangan semata sudah sering terbukti tidak cukup untuk menciptakan sebuah afiliasi apabila tidak disertai oleh interseksi-interseksi yang kuat.

Mungkin, kita bisa memaklumi kerancuan itu “karena memang koran ini didirikan dan sekaligus dijalankan oleh para budayawan cum politikus seperti Njoto”, yang “berkali-kali mengatakan “Harian Rakyat adalah juru bicara kebudayaan Rakyat” (lih. hal. 95-96). Tetapi, mungkin pula Muhidin dan Rhoma lupa, ‘tidak ada kebetulan di dalam politik’.

PKI sebagai garda revolusioner terdepan saat itu tak pelak membidik agenda di bidang kebudayaan. Sejak edisi 30 Juni 1963, rubrik Ruangan Kebudajaan yang sekian lama setiap pekan menjadi wadah bagi dunia seni-budaya di dalam Harian Rakyat menjelma-meluas menjadi edisi khusus mingguan dalam khasanah yang sama, bertajuk Harian Rakyat Minggu. Komitmen yang makin terkonsentrasikan itu disambut dengan produktivitas para pekerja seni dan budaya, yang tampak antara lain sebagai berikut:

Menurut catatan “Editorial”, selama setahun, yaitu 2 Februari 1963 s/d 26 Januari 1964, Harian Rakyat Minggu telah menyiarkan: 120 sajak, 21 cerita pendek (cerpen), 15 reportase, 23 resensi, 10 esai, 15 buah lagu, dan 26 cukilan kayu (dalam dan luar negeri), di samping sekian banyak artikel-artikel mau pun catatan tentang kebudayaan dan pelbagai cabang kesenian. Termasuk bagian yang penting ialah terjemahan sajak-sajak, cerpen-cerpen, dan artikel-artikel kebudayaan/kesenian dari banyak negeri terutama Asia-Afrika [sic] (hal. 96).

Dan, ghirah mereka yang membara itu juga diapresiasi melalui penobatan karya-karya seni terbaik yang dimuat oleh Harian Rakyat selama setahun penuh - sebuah tradisi warsakala yang berjalan sejak 1957 - 1964.

D. Berkali-kali Dibredel Akhirnya Mati Juga
Meski Harian Rakyat menikmati antusiasme yang mengagumkan dari rakyat sekaligus kedekatan dengan PJM-PBR Presiden Sukarno, tidak berarti selamat dari pemberangusan. Enam kali koran itu dibredel. Pembredelan dilakukan secara berturut-turut pada 13 September 1957, 16 Juli 1959, 2 November 1959, 9 Desember 1959, 3 Februari 1961, dan terakhir pada 2 Oktober 1965 yang menandai akhir usianya.

Pelarangan terbit Harian Rakyat pada 9 Desember 1959 dilakukan oleh penguasa perang - sebuah institusi yang terdengar dari namanya merupakan bagian dari militer dan memiliki peran cukup besar di masa itu. Sangat disayangkan tidak dijelaskan lebih lanjut oleh kedua penulis siapa yang dimaksud Penguasa Perang? Padahal, saat itu PKI sangat dekat dengan Panglima Angkatan Bersenjata, Presiden Sukarno. Pertanyaan kemudian, mengapa bisa terjadi pemberedelan? Pelarangan terjadi lantaran berita tentang ceramah Njoto di gedung SBKA pada 23 November 1959 yang dimuat oleh Harian Rakyat sehari sesudahnya. Letnan Jenderal Eddy Djadjang Djajaatmadja menyatakan “tidak menyebut dengan kongkrit apa dan bagaimana jang dilanggar ... hanja berdasar atas fikiran ‘asal tidak terbit sadja’” (hal. 99).

Pemberangusan kali itu memancing aksi solidaritas dari berbagai kalangan. Sesama media massa dan para pekerja seni dan budaya dari beberapa organisasi menolak pembredelan itu. PWI, SOBSI dan SPS, bahkan lembaga tinggi negara, seperti DPR dan DPA memberikan dukungan nyata bagi Harian Rakyat. Sejumlah seniman yang dijurubicarai Pramoedya Ananta Toer datang ke Istana Negara membawa petisi (hal. 99). Pemuda Rakyat bahkan menurunkan para anggotanya untuk menjajakan Harian Rakyat ke jalan-jalan, di samping membuka Dana Tolong Harian Rakyat sebagai bantuan finansial, karena telah sekian lama tak beroleh pemasukan dari penjualan beritanya. Hasilnya, serangkaian aksi itu berbuah dijinkannya kembali Harian Rakyat untuk terbit pada 3 Februari 1961 (lih. hal. 100).

“Banyak-banyak terimakasih, sekalian para pembaca!”
Setelah hari-hari hitam di pengujung 1965, Harian Rakyat memang dipaksa berakhir. Sebagaimana semua elemen revolusioner yang serta-merta dicucukkan dengan peristiwa yang memecah kegentingan malam pembuka bulan Oktober itu (Gerakan 1 Oktober 1965).

Patut dicatat, hanya Harian Rakyat yang entah dengan cara apa berhasil bersuara kepada para pembacanya sampai sehari sesudah hari nan kelam itu (lih. 101). Surat kabar dengan oplah terbesar pada masanya itu pun harus mengucap selamat tinggal dari arena pertarungan politik yang besar dengan korban jutaan orang. Sebagai kalimat penutup Edisi 2 Oktober 1965, “Banyak-banyak terimakasih, sekalian para pembaca!”.

Deklamasi Puisi Lekra sebagai penutup berakhirnya diskusi bedah buku.

Balada Rakyat Indonesia
F. L. Risakotta


I
senjata ini kami lepaskan setelah pertarungan matimatian, Bung Karno
karena cita-cita menyala pada hati dibakar perjanjian demi perjanjian

kami patuh dan setia dengan keyakinan penuh harap
karena citacita ini tidak pernah pudar pada asap dan kertas putih
kami tinggalkan hutan yang menyanyi tiap pagi
ketika kami diburu dan kota habis dihangusi
kami ungsikan diri, Bung Karno
bukan karena mati dan ketakutan tapi lentera pada hati menyala menyimpan citacita

ratusan kami berbaris menghadang musuh dengan bamboo yang begitu setia
berbanjar seperti benteng tiada terkalahkan

ribuan kami mandi darah di atas tanah kesayangan, karena setia,
karena citacita mulia

ketika laras kami berdebu di kota-kota
dan tapaktapak kaki ini belahbelah karena tiada alas rupa
dan wajah kami tiada pernah mengharap karena citacita masih terdukung
di berat punggung

kami lentangkan suara meski parau mendekam
kami nyanyikan kemenangan meski ini kekalahan yang dipaksakan
kami teriakkan perlawanan ini suatu permulaan kesyahduan

kami baris, Bung Karno
pada tangantangan kurus tiada berdenyut nadi
sepanjang kota rakyat menanti kemerdekaan dan citacita
dan kami terus berbaris, kami terus menghentak kaki
meski di sisi rakyat membakar citacita karena kesetiaan belum nyata

kami jelajahi kota, kami masuki kota, Bung Karno
karena Indonesia, karena citacita kami bersama

senjata ini di depanmu kami jamah tanda hormat dan kasih kita
di penghabisan kali karena kami harus menyisih dari barisan senjata
kami bukan orangnya yang mendendam dengan senjata dan penembakan
kami bukan orangnya sisasisa pertempuran yang mengharap balas dan bintang jasa
kami bukan pejuang yang didaftarkan si suatu kementrian
tapi kami penjelajah hutan ketika revolusi, penggempur kota dan pendukung

setia cita-cita kemakmuran bangsa

inilah kami Bung Karno
yang setia ketika tiada malam dan kelam dalam diri dan hari depan
kami yang masih merayap di kaki bukit ramamandala, di hutan-hutan kerinci,
kuningan dan bolangmangondow
ya, kamilah Bung Karno yang mengharap merek tapi tiada bertanda

dulu kami lepaskan senjata kami setia pada citacita rakyat
kini kami ditumpas lepas hanya pegangan pada hati
mungkinkah sembilu penghabisan menyanyat citacita ini bila
keganasan gerombolan mengerkah citacita merdeka?

Bung Karno, usang sudah citacita ini bila kemenangan tiada di hati kami
remuk dan musnah rumah kampung halaman kami dan istri harus mati
bertekuk dikebiadaban gerombolan
sedang kami harus lari menghindar diri demi merdeka dan citacita
adakah yang lebih pahit dari ini, Bung Karno
bila nafas yang sisa ini menumpas
setiap keganasan, kebuasan tapi di musim damai kami didera-disiksa oleh sisasisa gerombolan dan hidup merungkak di tanah berbatu?
atau mengharap perintah dari tanggan yang tiada pernah berlaga?

ya, Bung Karno, senjata ini kami serahkan demi citacita bangsa
tapi pada mu, Bung Karno, tiada pada siapa pun

II
kami harus menekan tumpas karena derita masih menyala
memanggang diri dan air mata
kami harus menekukkan kepala kerena hati cinta nusa masih membakar diri
sedang punggung berat membebani citacita
kami tidak meminta, Bung Karno, kerena jiwa kami terancam gerombolan dan
hati ini sedih ditindas modal asing
juga kami mati akan setia dan kemegahan demokrasi, Bung Karno,
karena apalah arti citacita yang menyala ini andai suara tersumbat dan tangan kaku di atas kertas putih

bung Karno, pada mu kami dukung citacita kami sejak revolusi dulu
karena tanpa citacita ini kita bukan apa pun di bumi Indonesia
ketika ini pada mu pimpinan kami serahkan tapi bukan pada siapasiapa

III
ketika meriam menggelegar 21 kali di kemayoran
senja memisahkan kami, pendukungmu, Bung Karno -
dari istanamu yang putih mengapur
tapi suara dan teriak kami menggelegar memecah senja
lebih keras dari meriam, Bung Karno,
meski saat itu kita disisihkan dalam senja
kami menanti dengan hati bukan dengan senjata dan meriam karena senjata
telah kami serahkan ketika revolusi dan setia kembali ke desa
sedang di hati citacita ini lebih tajam dari senjata, juga lebih indah dari istana
Bung Karno, kami menanti di depan istana, tapi kita berpisah karena senjata
di depan kami
kami tahu Bung Karno, seperti kau pun tahu bahwa batas kita ini hanya sementara,
bahwa pemisahan kita hanya seketika
apakah yang lebih abadi selain citacita, Bung Karno
karena kami pun percaya seperti kau juga mengerti bahwa meriam bisa diam
kalau hati bersusun satu, Bung Karno, tapi imperialisme dunia pun
bisa hancur bila kami pendukung setia citacita bangsa;

di bawah kesamaran senja dan lampulampu, Bung Karno, wajahmu menyala
setelah dua bulan kita berpisah
jauh jarak pengharapan hati ini, Bung Karno
tapi kami tetap setia

suaramu yang kami nantikan seperti apa yang diharapkan hati ini, Bung Karno
ucapan yang melaut di hati dan benak kami, mencatat kemenangan karena
kita berkisar di satu etah dimana dulu kita pernah mengalah
kita kembali ke jalan dimana revolusi menuntut kemenangan
dengan senjata citacita yang abadi, kemerdekaan, kebebasan dan kemakmuran;
teriakmu naik ke langit malam dan di bintang menyatu diri
kami penanti, Bung Karno, dan suaramu suara kami kembali ke jalan

IV
berhari kita berkira dalam diri dan citacita lautan kemegahan dan
keadilan rakyat Indonesia
kemanakah arah angin kan bertiup bila lentera di tanganmu, Bung Karno
kami serukan langkah, bila nafasmu menafasi hati kami
kami sediakan diri, Bung Karno, andai derita dan kepahitan kita dukung bersama;
Bung Karno, mimpi kami tidaklah seindah hati dan citacita kami,
karena berat beban tiada terungkai andai kami terus dirangsang ketakutan,
diburu kehancuran, dalam tangan citacita demokrasi
tapi kami percaya, Bung Karno, meski citacita ini diperam, ia pasti lebih membaja
lebih menyala dari bintangbintang, tapi juga lebih menggelegar dari meriam
Bung Karno, atas mu citacita ini kami serahkan,
tapi citacita ini adalah milik kita, Bung Karno
kebenaran citacita akan menggaris dalam sejarah,
siapa yang setia dialah pemenang, Bung Karno

Bung Karno, kami pejalan panjang dari revolusi ke jalan revolusi dan hati tiada henti mendukung citacita rakyat Indonesia, meski malam jemu
menutup mata seluruh Indonesia


kayu awet, 21 Juli 1959.

Komentar :

ada 0 komentar ke “Resensi buku “Lekra Tak Membakar Buku” Bab II: Riwayat Harian Rakyat”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id